news

 

  Jakarta – Hubungan RI dengan Papua Nugini (PNG)tiba-tiba memburuk. Penyebabnya, PM PNG mengaku tersinggung oleh sikap TNI AU yang mengirimkan pesawat tempurnya untuk membayang-bayangi pesawat yang katanya menerbangkan Wakil PM PNG di wilayah perbatasan kedua negara Nopember 2011 lalu.
Perdana Menteri (PM) PNG John O’Neill mengancam akan mengusir Dubes RI di negara itu dan membekukan semua hubungan diplomatik kedua negara. Reaksi PM O’Neill itu terkesan berlebihan dan cukup mengejutkan.
Berlebihan sebab O’Neill dan wakilnya dalam pernyataannya pekan ini memberi ultimatum. "Dalam waktu 48 jam pemerintah Indonesia harus memberi penjelasan," kata PM yang baru saja ‘mengkudeta’ PM Michael Somare itu baru-baru ini.
Insiden itu, kalaupun benar menyinggung ataupun membuat pemimpin PNG marah, tetapi untuk menjadikannya sebagai sebuah alasan kuat bagi pemutusan hubungan diplomatik, terlalu mengada-ada. Lain halnya jika kejadian seperti itu sudah berulang kali terjadi. Atau kemarahan itu masuk akal dan dapat dimengerti kalau Indonesia sejauh ini memiliki prilaku yang tidak bersahabat dengan PNG. Artinya PNG sudah jenuh dilecehkan Indonesia.
Mengejutkan sebab ancaman seperti itu dari segi diplomatik, tidak lazim. Ancaman dalam bahasa yang vulgar hanya mungkin disampaikan pejabat senior setingkat Direktur Jenderal. Bukan oleh seorang Menteri apalagi Wakil Perdana Menteri maupun Perdana Menteri.
Seperti dilaporkan Radio Australia, Jumat 6 Januari 2012, November lalu dua pesawat militer Indonesia hampir bertabrakan dengan pesawat jet yang ditumpangi Wakil PM PNG Belden Namah dan para pejabat senior PNG . Saat itu mereka baru pulang tugas dari Malaysia.
ABC Australia melaporkan bahwa ada tuduhan yang mengatakan militer Indonesia memang sengaja melacak pesawat tersebut. Wakil PM, Belden Namah, mengatakan aksi ini adalah tindakan agresif dan intimidasi. "Saya sangat marah. Saya menuntut penjelasan. Jika tidak ada penjelasan selama 48 jam, semua hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Papua Nugini akan tegang," kata Namah.
Sementara itu jurubicara Mabes TNI AU sudah membantah tuduhan pemimpin PNG tersebut. Sehingga yang masih ditunggu sekarang, apakah PNG menerima penjelasan sekaligus bantahan Indonesia atau akan melanjutkan sikapnya memusuhi Indonesia.
Kemungkinan PNG akan melanjutkan permusuhan dengan Indonesia, sangat besar. Sebab pemerintahan John O’Neill sekarang membutuhkan isu pemersatu yang dapat memperkuat kedudukannya.
Jadi sesungguhnya isu insiden pesawat jet tempur TNI AU bisa jadi hanya dijadikan oleh O’Neill untuk kepentingan politik dalam negerinya. Sebagaimana diketahui O’Neill baru saja ‘mengkudeta’ PM Michael Somare, dengan alasan Somare sudah tiga bulan lebih menjalani perawatan di rumah sakit di Singapura.
Akibat kudeta tak berdarah itu, timbul ketidakstabilan politik di PNG. Sebab para pendukung Somare yang berada di akar rumput menentang keras kudeta tak berdarah yang dilakukan O’Neill. Sementara Michael Somare sendiri yang sudah beberapa kali terpilih menjadi PM PNG, dikenal sebagai tokoh PNG yang cukup dekat dengan pemerintah RI.
Di bawah Somare, PNG menjadi satu-satunya negara dari kawasan Pasifik yang ingin menjadi anggota ASEAN. Sebab bagi Somare, ASEAN indentik dengan kekuatan Indonesia. Oleh sebab itu jika O’Neill sangat bertolak belakang kebijaksanaannya dengan politikus yang dikudetanya, sah-sah saja dan sangat masuk akal.
Tetapi apapun yang terjadi, apakah hubungan Indonesia-PNG kembali ke situasi normal ataupun makin memburuk, insiden ini patut penjadi perhatian serius oleh Jakarta. Insiden dengan PNG bisa saja menjadi pintu masuk bagi masyarakat internasional untuk mengusik, mengganggu kemudian memecah NKRI.
Indonesia tidak bisa meremehkan agenda negara-negara tertentu untuk memecah Indonesia. Kepentingan para bapak bangsa (founding fathers) jelas sangat berbeda dengan masyarakat internasional, bahkan termasuk kelompok tertentu di dalam negeri.
Para bapak bangsa menganggap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Sabang (Aceh) sampai Merauke (Papua) sudah merupakan harga mati, sedangkan negara asing dan kelompok tertentu di dalam negeri, belum tentu berpendapat demikian.
Aroma permusuhan itu disampaikan PNG pada saat Indonesia sedang menghadapi pekerjaan yang cukup berat. Yaitu gangguan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua provinsi Indonesia yang berbatasan langsung dengan PNG. Eksistensi OPM di Papua pun sedang diberi dorongan semangat oleh pegiat LSM internasional.
Sehingga jika pernyataan permusuhan itu dikaitkan dengan gerakan-gerakan OPM, setidaknya akan terlihat adanya benang merah dan kesamaan kepentingan antara PNG dan OPM serta LSM internasional.Peryataan pemimpin PNG itu bisa jadi merupakan sinyal bahwa negara itu memang berkeinginan memunculkan sebuah hubungan yang tidak harmonis antara RI dan PNG.
Dengan hubungan yang tidak harmonis, sangat mudah bagi PNG untuk memberikan semacam bantuan ataupun suaka kepada pengikut OPM yang mencari perlindungan di PNG. Berhubung hubungan Jakarta-Port Moresby tidak harmonis, O’Neill bisa berpura-pura tidak tahu atau cuci tangan.
Bagi OPM sendiri ketidak harmonisan Jakarta-Port Moresby akan menjadi sesuatu yang menguntungkan. Suplai bantuan yang sulit mereka dapatkan melalui wilayah manapun, kelak bisa dilakukan lewat PNG. Lalu bagaimana Indonesia merespon ancaman PM PNG itu ?
Indonesia tidak perlu panik. Terutama karena putusnya hubungan diplomatik kedua negara, tidak akan banyak merugikan Indonesia. Yang akan menderita kerugian terbesar justru pihak PNG. Negara ini mau tidak mau akan membayar mahal semua ekspor dan impornya ke kawasan Asia. Sebab dengan tidak bisa melewati wilayah udara dan laut Indonesia, perjalanan ke dan dari Asia ke PNG, otomatis akan menjadi mahal.
Hanya saja bersamaan dengan sikap yang tidak panik, Indonesia juga harus mewaspadai manuver-manuver masyarakat internasional. Bisa saja PM PNG John O’Neill hanya dijadikan sebagai "umpan" oleh masyarakat internasional untuk mengusik Indonesia.
Setelah terusik, persoalan yang akan mereka soroti adalah soal penegakan HAM di Papua, terkait dengan keinginan OPM untuk mendirikan negara sendiri, berpisah dari NKRI. Kewaspadaan ini penting sebab sekalipun PNG hanya merupakan sebuah negara berkembang di pintu Pasifik, tetapi merupakan anggota negara-negara persemakmuran.
Dalam kasus-kasus tertentu, negara-negara anggota persemakmuran yang induknya Inggris Raya, kadang kala bersatu walaupun sifatnya hanya sementara. Negara persemakmuran yang bertetangga dengan Indonesia antara lain, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Australia.